A.
Latar
Belakang Kemunculan Khawarij
Secara
etomologis kata Khawarij bersal dari bahasa arab, yaitu kharaja
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan pengertian
etimologi ini pula Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari
kesatuan umat islam.
Adapun
yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut ali bin abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok
bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan
khalifah.
Mereka
pada umumnya terdiri dari orang-orang arab badawi. Kehidupannya di padang pasir
yang serba tandus, menyebabkan mereka bersikap sederhana baik dalam cara hidup
maupun pemikiran. Namun mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak
bergantung pada orang lain dan cenderung radikal.
Kelompok
khawarij pada mulanya memandang ali dan pasukannya berada di pihak yang benar
karena ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat islam,
sementara muawiyah berada dipihak yang
salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi
Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu,
tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan
yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai
kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun,
karena desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki
at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan
damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru
damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa
Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali
diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij
sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain
selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada
saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura.
Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan
juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab
Ar-Rasyibi.
B. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij.
1.
Khalifah atau imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat islam.
2.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat.
3.
Khalifah dipilih secara permanen selama
yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman
4.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar,
Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman
ra dianggap telah menyeleweng.
5.
Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah
terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
6.
Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa
Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
7.
Pasukan perang Jamal yang melawan Ali
juga kafir.
8.
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi
disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka
menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula.
9.
Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan
mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara
islam).
10.
Seseorang harus menghindar dari pimpinan
yang menyeleweng.
11.
Adanya wa’ad dan wa’id (orang
yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam
neraka).
12.
Amar ma’ruf nahyi munkar.
13.
Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang
tampak mutasabihat (samar)
14.
Quran adalah makhluk.
15.
Manusia bebas memutuskan perbuatannya
bukan dari Tuhan.
C. Perkembangan Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang
pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum
Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar
bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai
kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh
Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti
Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar
terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.
Al-Muhakkimah
5. Al-Ajaridah
2.
Al-Azriqah
6. As-Saalabiyah
3.
An-Nadjat
7. Al-Abadiyah
4.
Al-Baihasiyah
8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat
dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya
doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan
doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut,
dikategorikan sebagai khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktrin
yang identic dengan aliran ini. Berkenaan dengan ini Harun Nasution
mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai
aliran khawarij, yaitu:
1.
Mudah mengafirkan orang yang tidak
segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
2.
Islam yang benar adalah islam yang
mereka pahami dan amalkan.
3.
Orang-orang islam yang tersesat dan
menjadi kafir perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya, yaitu islam yang
seperti mereka pahami dan amalkan.
4.
Karena pemerintahan dan ulama yang tidak
sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan
mereka sendiri.
5.
Mereka bersifat fanatic dalam paham dan
tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.
D. Sejarah Kemunculan Murji’ah MURJI’AH
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi
harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di
belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal
dariiman.Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau
terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa
besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan
penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim
itu.dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman
seseorang.Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap
mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme(terikat
pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan
ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan)
yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi
sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali
dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua
golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi
dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M).
Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang
kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas
kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak
mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di
antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah
yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan
yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka,
sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat
dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka
tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang
lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan
Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan
teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum
orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij
mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap
orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan
kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam
hal ini bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain,
orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman.
Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin
dan bukan kafir.
Aliran Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti
bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah.
Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk
lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai
aliran yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang
dan tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim
itu masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya. Kemungkinan
mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran golongan
Murji’ah ekstrim.
E. Pemikiran dan Doktrin-doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai
berikut :
1.
Penangguhan keputusan terhadap Ali dan
Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2.
Penangguhan Ali untuk menduduki rangking
keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3.
Pemberian harapan (giving of
hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
4.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai
pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan
Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya, yaitu :
1.
Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr
bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada
Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan keputusan kepada Allah atas
orang muslim yang berdosa besar.
3.
Meletakkan (pentingnya) imal daripada
amal.
4.
Memberikan pengharapan kepada muslim
yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua
doktrin pokok, yaitu:
1.
Iman adalah percaya kepada Allah dan
Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi
adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun
meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar keselamatan adalah iman semata.
Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat
ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia cukup hanya
dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah tauhid.
F. Sekte-sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh
perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini,
terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan
sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain karena ada beberapa tokoh aliran
pemikiran tertentu yang diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud antara
lain Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari ahlus Sunnah.
Pimpinan dari kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat
as-Saman, Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang terkenal pada masa
Bani Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentangI’tiqad dan
kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni
golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat tetap teguh
berpegang pada doktrin Murjiah di atas. Sementara itu, golongan Murji’ah
ekstrim memiliki doktrin masing-masing. Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim
antara lain:
1.
Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori
oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT,
rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya,
kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang
sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang
dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya
hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah
berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga
dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semat.
2.
Golongan al-Salihiyah dengan
tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan
ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui)
kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak
mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang
disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
3.
Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn
an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang
Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis
dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena
ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali
tidak merusak iman.
4.
Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh
Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah.
Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan
beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan
jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik,
banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
5.
Golongan al-Gailaniyah dipelopori oleh
Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui)
kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta)
dan tunduk kepada-Nya.
6.
Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu
Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka
menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu
yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya
kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
7.
Golongan al-Marisiyah dipelopori oleh
Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa
tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus
diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan
lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari
iman.
8.
Golongan al-Karamiyah dipelopori oleh
Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan
kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat
diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9.
Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat
jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution
ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap
memperlemah ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive,
masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma
akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak
bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut
faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti
tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
G. Perbandingan Antara Khawarij dan Murji’ah.
Untuk melihat gambaran perbedaan pendapat antara aliran yang terdapat
dalam aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut ini akan dipaparkan kembali
berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, meliputi: Pelaku dosa besar, iman
dan kufur.
Dalam hal menyikapi pelaku dosa besar, aliran Khawarij langsung memfonis
bahwa semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah,adalah
kafir atau murtad sehingga wajib dibunuh dan akan disiksa di neraka
selama-lamanya. Sekte al-Azariqah, menggunakan istilah musyrik,
yaitu memandang musyrik terhadap yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka
dan yang tidak sefaham dengan mereka. Pelaku dosa besar (membunuh, berzina,
dll) dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafirmillah (agama)
yang berarti telah keluar dari Islam, kekal di neraka bersama orang-orang kafir
lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan, Ali, Muawiyah, Amr bin
Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah
bersalah dan menjadi kafir termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina,
membunuh manusia tanpa sebab, dosa besar lainnya).
Sedangkan aliran Murji’ah memberikan pengharapan kepada masyarakat. Sekte
Murji’ah ekstrim terkenal dengan kredonya bahwa perbuatan maksiat tidak dapat
membawa kekufuran. Menurut mereka, keimanan terletak di dalam kalbu, adapun
ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di
dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agam tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata tuhan. Mereka memandang
pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun sekte Murji’ah moderat
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa
dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang
dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya
hingga ia bebas dari siksaan neraka. Abu Hanifah dan pengikutnya termasuk pada
sekte Murji’ah moderat ini.
Kemudian pendapat dalam hal menyikapi iman dan kufur, aliran Khawarij
memandang masalah iman dan kufur lebih bertendensi politik ketimbang
ilmiah-teoritis. Menurutnya, iman tidak semata-mata percaya kepada Allah.
Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Oleh karena itu, Khawarij menganggap kafir bagi siapapun yang beriman
kepada Allah dan Muhammad Rasul-Nya, namun tidak melaksanakan perintah
kewajiban agama dan malah melakukan dosa.
Muhammad Arsyad Farisi - Universitas Islam Attahiriyah
Aliran Murji’ah yang ekstrim berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam
kalbu. Segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama
tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih
sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara itu, Murji’ah moderat berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir meskipun disiksa dalam
neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya.
0 komentar:
Posting Komentar