A. JABARIYAH
1. Asal-Usul
Pertumbuhan Jabariyah
Kata
jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa, didalam al-munjid
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Selanjutnya, kata jabara bentuk
pertama setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau
aliran (isme). Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau
predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadhar tuhan.
Faham
al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin dirham kemudian disebarkan
oleh jahm bin shafwan dari khurasan. Namu dalm perkembangannya, faham al-jabar
juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya an-najjar dan ja’ad bin
dirrar.
Sebenarnya
faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu
terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
a. Suatu ketika nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi
melarang mereka untuk mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir. Khalifah umar
bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar
ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada
tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu.
Pertama, hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil
takdir tuhan.
b. Pada pemerintahan
daulah bani umayyah, pandangan tentang al-jabar semakinmencuat ke permukaan.
Abdullah bin abbas, melalui suratnya memberikan reaksi kertas kepada penduduk
syria yang diduga berfaham jabariyah.
Berkaitan
dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya
diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab
Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit
2.
Para Pemuka Jabariyah Dan Dokrin-Dokrinnya
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan
moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya. Misalnya, kalau
seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qadhar tuhan yang menghendaki
demikian.
Diantara
pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
a. Jahm bin shofwan,
nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia barasal dari Khurasan
bertempat tinggal di kuffah. Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan
teologi adalah sebagai berikut ini;
1)
Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2)
Syurga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
3)
Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama
dengan aliran kaum Murji’ah.
4)
Kalam
tuhan adalah mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
b. Ja’ad bin Dirham,
adalah seorang maulana bani hakim, tinggal di damaskus. Ia dibesarkan dalm
lingkungan orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Dokrin pokok
Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai
berikut;
1)
Al-quran
itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatka kepada Allah.
2)
Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat,
dan mendengar.
3)
Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda
dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun yang baik. Tetapi
manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah
sebagai berikut;
a. An-najar, nama
lengkapnya adalah husain bin muhammad an-najar, para pengiktnya disebut
An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai
berikut;
1)
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam
teori Al-Asy’ry.
2)
Tuhan
tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa tuhan dapt saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
tuhan.
b. Adh-Dhiar, nama
lengkapnya adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama
dengan husein an-najjar, bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang
digerakkan dalang, manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan
tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Mengenai ru’yat tuhan
diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera
keenam.
B. QADARIYAH
1. Asal-Usul
Kemunculan Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi Qadariyah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya.
Seharusnya,
sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar
menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia
mempunyai kebebasan berkehendak.
Menurut
Ahmad Amin, qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan
Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan
pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator
berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
2. Doktrin-Doktrin
Qadariyah
Dalam
kitab al-milal wa an-nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan
pembahasan dokrin-dokrin mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini
kurang begitu jelas.
Qadariyah
pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Olah karena itu, ia berhak mendapat pahala atas perbaikan yang dilakukannya dan
berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Fahan
takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum
dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu faham yang menyatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
bertindak hanya menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap
dirinya.
Muhammad Arsyad Farisi - Universitas Islam Attahiriyah
Muhammad Arsyad Farisi - Universitas Islam Attahiriyah
Dengan
pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada tuhan. Dokrin-dokrin
ini mempunyai tempat pijakan dalam dokrin islam sendiri. Banyak ayat Al-quran
yang dapat mendukung pendapat ini. Misalnya dalam surat Al-Kahfi ayat 29, yang
artinya;
Dan
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir".(Qs.Al-Kahfi:29)
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri”.(Qs.Ar-raad:11)
“Barangsiapa
yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan)
dirinya sendiri”.(Qs.An-Nisa’:111)
0 komentar:
Posting Komentar