A. Mu’tazilah
·
Pengertian dan Sejarah Perkembangan
Aliran Mu’tazilah
Perkataan
Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud
"meninggalkan", "menjauhkan diri". Kelahiran Mu’tazilah,
oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari
halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang
Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggap
munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus dikeluarkan dari kemunitas
masyarakat muslim. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi
fasiq. Ia berada di antara “manzil baina manzilatain” (tempat di antara dua
tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas
memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru
mengatakan, “Intazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita).
Dari situlah kemudian muncul istilah Mu’tazilah, orang-orang yang memisahkan
diri. Akan tetapi, dalam tradisi Mu’tazilah sendiri, Hasan Basri dianggap
sebagai salah satu tokoh mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti
Abu Bakar, Umar dan Ali dimasukkan dalam tokoh mereka juga . Selain itu,
hubungan Hasan Basri dan Washil ibn Atha tidak terputus, sampai kematian
memisahkan mereka. Bahkan, Washil masih sering terlihat bepergian bersama
gurunya dalam berbagai perjalanan . Ini membuat orang bertanya mengenai
kebenaran cerita di atas.
Sementara
itu, menurut Montgomery Watt, pemikiran utama Mu’tazilah sesungguhnya diberikan
oleh Mu’ammar (Makmar). Nama Washil ibn Atha, Amr ibn Ubaid, Abu Hudzail dan
lainnya, hanyalah orang-orang yang ditokohkan oleh Mu’tazilah ketika mereka
memerlukan figur panutan. Selanjutnya, ketika figur Washil dianggap lebih baik
dan disukai, maka ia kemudian dianggap sebagai pendirinya. Meski demikian,
tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan Muammar atau Makmar oleh Watt.
Hanya saja, menurutnya, Mu’tazilah lahir karena pengaruh pemikiran Yunani. Ia
berusaha menggabungkan dogma-dogma Islam dengan filsafat pemikiran Yunani kuno.
Akan tetapi, pernyataan Watt ini juga rancu dan sulit dibuktikan. Sebab,
kenyataannya, Mu’tazilah telah lebih dahulu mapan sebelum filsafat Yunani masuk
ke dalam Islam lewat terjemahan.
Perhatian
pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu,
cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan
penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan
dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini dibanding dengan
cabang Basrah lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya
banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para
pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.
Di
antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong
perkembangan Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk
penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi
perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Mu’tazilah
sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun. Di sisi lain, secara
politis, al-Makmun menggunakan paham Mu’tazilah sebagai alat untuk menguji
loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu,
pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan,
sebagaimana ajaran Mu’tazilah. Yang tidak percaya dipecat.
Kalangan
Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain Allah. Kepercayaan
akan adanya dzat yang qadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menduduki
jabatan hakim harus bebas dari syirik. Bila sudah terlanjur, mereka harus
diturunkan. Mihnah ini dalam perkembangan tidak hanya diterapkan pada para
hakim, tetapi juga para saksi di pengadilan, dan kemudian para pemimpin
masyarakat.
Kebijaksanaan
al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras
oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar
Mu’tazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini . Ia adalah
kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan
Yahya ibn Aksam pada tahun 832. Jabatan
tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al- Wasiq.
Meninggalnya
al-Wasiq menandai kejatuhan Mu’tazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861),
lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada
masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah
tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti memberikan angin segar
kepada lawan-lawan Mu’tazilah, terutama ahli Al-hadits, ahli fiqh dan Syiah,
untuk balik menjatuhkannya.
Namun,
dalam tubuh Mu’tazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al- Jubai dan anaknya,
Abu Hasyim. Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan Mu’tazilah.
Sudah tentu, ini sesuatu yang sangat sulit. Kenyataanya, hanya aliran Basrah
yang dapat bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat dengan kekuasaan, harus
turun dari panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha kedua tokoh tersebut bisa
dikatakan berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri justru tampil seorang
lawan baru; Abu al-Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri aliran Asy’ariyah,
sehingga beberapa saat lamanya, Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan.
Pada
masa-masa berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad keempat Hijriyah),
Mu’tazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Persia. Ia bergandengan dengan
Syiah. Saat itu, banyak muncul pemikiran Mu’tazilah dari aliran Basrah, walau
diakui tidak sebesar para pendahulunya. Mereka meninggalkan banyak karya yang
masih bisa kita lihat sampai sekarang.
·
Pola Pemikiran dan Doktrin Mu’tazilah
Aliran
mu’tazilah pada dasarnya memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Hal
ini di antaranya disebabkan banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani yang
membawa pemujaan akal ke dalam pemikiran islam. kaum mu’tazilah banyak
dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teologi mereka
banyak dipengaruhi oleh daya akal dan teologi mereka memiliki corak liberal.
Diatara doktrin mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam
Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul
al-Khamsah”.
Ø
Keesaan Tuhan
Prinsip
ini didefinisikan sebagai Allah Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya
dalam sifat-sifat yang menjadi haknya, baik dalam penegasan maupun
penetapan. Penetapan ini terkait dengan
pemahaman Mu’tazilah mengenai sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu dinisbatkan
kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal yang bisa
menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain dzat Allah.
Ø
Keadilan Tuhan
Prinsip
ini didefinisikan bahwa semua perbuatan- Nya adalah baik. Dia tidak mungkin
melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apapun
yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh
Mu’tazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘I’tizal’ kecuali ia berpegang
pada keseluruhan dari lima prinsip Mu’tazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji
dan ancaman, posisi diantara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika
kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Mu’tazilah”.
Muhammad Arsyad Farisi - Universitas Islam Attahiriyah
Muhammad Arsyad Farisi - Universitas Islam Attahiriyah
1)
Allah tidak berdusta dalam firman-Nya,
dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2)
Allah tidak menyiksa anak-anak orang
musyrik, karena dosa orang tuanya.
3)
Allah tidak memberikan mukjizat kepada
orang-orang yang banyak berdusta.
4)
Allah tidak membebani hamba-Nya dengan
sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya.
Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan beban yang diberikan, membuat mereka
mengetahui sifat beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada mereka.
Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan, adalah
berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan. Yaitu, karena ketaatan dan
kelalaian mereka sendiri.
5)
Allah pasti memberikan balasan yang
baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
6)
Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan
Allah atas orang mukalaf, adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau
tidak, maka Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya.
7)
Pandangan Allah tentang hamba-Nya,
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah
lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu .
Ø
Janji dan Ancaman
Didefinisikan
bahwa Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan
mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji
dan ancaman-Nya itu, tidak mungkin
terjadi kedustaan dalam janji-Nya. Bila Dia berdusta akan janji- Nya sendiri,
berarti firman-Nya tidak dapat dipegangi (tidak dapat dipercaya).
Ø
Posisi diantara Dua Posisi
Didefisinikan,
bahwa pelaku dosa besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara
dua nama dan menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq. Ia tidak dihukumi kafir, karena kenyataanya
ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan melakukan perkawinan,
pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun, tidak bisa pula dihukumi
sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah melakukan dosa besar.
Karena perbuatannya, sebagaimana dinyatakan dalam Ijma, ia tidak pantas
dihormati, dipuji dan ditolong demi Allah, sebagaimana yang mesti dilakukan
terhadap seorang mukmin.
Ø
Amar Makruf Nahi Munkar
Dalam hal ini diperlukan syarat-syarat, antara
lain:
1)
Pengetahuan yang pasti bahwa yang
diperintahkan adalah sesuatu yang baik dan yang dicegah adalah sesuatu yang
jelek.
2)
Pengetahuan atau dugaan yang kuat
bahwa perbuatan yang tidak baik tersebut telah benar-benar ada atau telah
terjadi. Misalnya, telah tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat
judi dan lainnya.
3)
Pengetahuan atau dugaan yang kuat
bahwa pencegahan tersebut tidak akan menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Misalnya, kalau dilakukan pencegahan minuman keras akan menimbulkan huru-hara
atau pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib
dilakukan.
4)
Pengetahuan atau sangkaan yang kuat
bahwa tindakannya itu akan menimbulkan pengaruh. Kalau sadar bahwa kata-katanya
tidak akan menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
5)
Pengetahuan atau sangkaan yang kuat
bahwa tindakannya tidak bakal menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya.
B. Syi’ah
·
Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran
Syi’ah
Syi’ah
(Bahasa Arab: شيعة,
Bahasa Persia: شیعه)
ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan
dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam
Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.)
menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim
sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah
Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah
Syī`ī شيعي. "Syi'ah"
adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي
artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat
khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali,
kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa
syi'atuka humulfaaizun).
Syi'ah
menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain
itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun
menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi
Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang
tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal
beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami
perpecahan mazhab.
Muslim
Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan
terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi
Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara
khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus
kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya
yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui
perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari
Allah.
Perbedaan
antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang
tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai
contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait,
sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa
memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah
(juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun
sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat
ini.
·
Sejarah munculnya Syi'ah
Para
penulis sejarah Islam berpendapat bahwa Syi'ah lahir langsung setelah wafatnya
Rosulullah SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin
dan kaum Anshor di balai pertemuan Saqifah bani Sa'idah. Pada saat itu bani
Hasyim menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib. Sedangkan sebagian
lainnya bependapat bahwa Syi'ah lahir setelah wafatnya Utsman bin Affan (tahun
644-656 M).
Syi’ah
sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s (imam pertama kaum Syi’ah) diketahui
sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan
realita-realita berikut ini:
Pertama,
ketika Rasulullah SAW mendapat perintah
dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata
kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka
ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s.
Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan di hari pertama ia memulai
langkah-langkahnya memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang
lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia
mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa
aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada
penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan
di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai
pengganti dan washi Rasulullah SAW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang
tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAW dan orang yang mengikutinya berarti
ia juga mengikuti Rasulullah SAW.
Kedua,
berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah.
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan
kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya
sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali
a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan
pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, ia pernah tidur di
atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah
SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud,
Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah
dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat,
peristiwa Ghadir Khum yang merupakan puncak keistimewaan yang dimiliki oleh
Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa yang seandainya dapat direalisasikan sesuai
dengan kehendak Rasulullah SAW akan memberikan warna lain terhadap Islam.
·
Pola Pemikiran dan Doktrin Syi'ah
Syi’ah
memiliki beberapa doktrin diantaranya:
Ø
Ahlul Bait secara bahasa ahlul bait
berarti keluarga, ada 3 bentuk pengertian ahlul bait yaitu:
1)
Mencangkup isteri-isteri Rosulullah SAW
dan seluruh Bani Hasyim.
2)
Hanya Bani Hasyim.
3)
Terbatas hanya Rosulullah SAW, Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan imam-imam
keterunan Ali.
Ø
Al-Bada' , adalah
keputusan Allah yang mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah
ditetapkanNya dengan keputusan baru.
Ø
Asura, berasal dari kata asyara yang
berarti sepuluh.Yang mempunyai maksud yaitu hari peringatan wafatnya Husein bin
Ali.
Ø
Imamah
(pemimpin).imamah meyakini bahwa harus ada pemimpin-pemimpin setelah
Rosulullah.
Ø
Ismah,berasal
dari kata asama' yang berarti
terpelihara. Doktrin ini meyakini bahwa imam-imam sepeti Rosulullah SAW telah dijamin oleh Allah terhindar dari
perbuatan salah dan lupa.
Ø
Mahdawiyah, meyakini
bahwa akan datangnya juru selamat pada hari akhir yang bernama Imam Mahdi.
Ø
Marja'yiyah, dari kata marja' yang artinya tempat kembali.
Ø
Raj'ah adalah
keyakinan akan dihidupkannya kembali sebagian hamba Allah yang paling sholeh
dan yang paling durhaka untuk
menunjukkan kebesaranNya.
Ø
Taqiyah, yaitu sifat berhati-hati demi
menjaga keselamatan jiwa.
Ø
Tawasul, memohon kepAda Allah dengan
menyebutkan pribadi atau kedudukan seorang imam, nabi, atau bahkan para wali
agar do'anya cepat terkabul.
Ø
Tawalli dan Tabarri, yang aartinya
mengangkat seorang sebagai pemimpinnya, tabarri yang berarti melepaskan diri
atau menjauhkan diri dari seseorang.
·
Sekte-sekte dalam Syi'ah
Semua
sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib,
kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul
perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul
dua pendapat. Pendapat kelompok pertama yaitu
imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok
lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali
bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat
perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para
penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan
tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar,
yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.
Ø
Kaisaniyah
Adalah
sekte Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah
wafatnya Husein bin Ali. Nama Kaisaniyah diambil dari nama sorang bekas budak
Ali bin Abi Thalib, Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga
dipanggil dengan nama Kaisan.
Ø
Zaidiyah
Adalah
sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal
Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan
Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut
mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai
pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima
kriteria, yakni: keturunan Fatimah binti
Muhammad SAW, berpengetahuan luas
tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah
SWT dengan mengangkat senjata dan berani.
Sekte
Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar
bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada
Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap
sekte Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah.
Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan
pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat
dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak
sah. Urutan imam mereka yaitu:
1)
Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)
Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3)
Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4)
Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)
Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid,
adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Ø
Imamiyah
Adalah
golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi
Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh
karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar,
maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok
dalam agama atau ushuludin. Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan.
Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas.
Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah
berkuasa di Mesir dan Baghadad. Disebut
juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh
orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah
Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1)
Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)
Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3)
Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4)
Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)
Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6)
Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far
Ash-Shadiq
7)
Ismail bin Ja'far (721 – 755),
adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq
dan kakak Musa al-Kadzim.
Ø
Kaum Ghulat
Merupakan
golongan yang berlebih-lebihan dalam memuja Ali bin Abi Thalib atau imam mereka
yang lain dengan menganggap bahwa para imam terdebut bukan manusia biasa,
melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu
Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah
punah. Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah,
Al-Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah,
Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan lainnya.
Menurut
Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon
pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau
adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan
ketuhanan.
Sementara
Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang
menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam
Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin
kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.
Golongan Al-Ghurabiyah percaya
malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra. Namun, mereka menilai
malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi
Muhammad. Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan
Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di
Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930 Masehi.
0 komentar:
Posting Komentar