Home » » PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN

PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN

A.      Pendapat Aliran-aliran Kalam Mengenai Sifat-sifat Tuhan
1.       Mu’tazilah
Jadi menurut Mu’tazilah  Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat  golongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah  menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka  tentang Tuhan, sebagaimana  dijelaskan oleh al-asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.
·         Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan :
a)      An –Nazhzham menfikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan, perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah yang lain.
An –Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan sifat-Nya). 
b)      Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata aku nyatakan Allah “bersifat” tahu, artinya aku nyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya.
Arti “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.
2.       Asy’ariyah
                Kaum Ay’ariyah  berlawanan dengan Mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
                Dan menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri.
                Uraian –uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
                Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah. Golongan Asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal sifat dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain dari zat-nya.
                Jika diamati lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan zat-Nya” berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat). Dari pendapat asy’ariyah yang demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa lepas dari zat-Nya.
3.       Maturidiyah
                                Tampaknya paham al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat tuhan.
                Aliran ini mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.
                Sementara itu Kaum Maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal.
                Sedangkan kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena al- Matuiridi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.
Aliran Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan Maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan. Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini membelok ke Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas dari padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih menyisakan persoalan, yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula berbeda dengan zat, lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi pertanyaan ini golongan maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih dari itu”.
Melihat jawaban yang demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa menyelesaikan kontradiksi yang sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan para filosof dan Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu mereka juga bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan bahwa madzhab itu lebih selamat, dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Kendati demikian, sikap Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena mensucikan Tuhan tidak perlu disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran fikiran yang kosong.
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy, harus menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan kata-kata yang biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakn (tasybih). Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk meniadakan setiap persamaan antara sifat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.
4.       Syiah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syiah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim, sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan, ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan) mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian mereka  mengatakan bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada diri-Nya, perubahan itu bukan arti nask tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.
5.       Musyabihah (Karramiyah)
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Kalau sekiranya kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluknya, tentulah tidak  timbul persoalan sifat dan tidak timbul segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian mereka mirip golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.
Aliran kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan perbuatan-Nya hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya mempercayai bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada pembahasan di atas. Tetapi aliran musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat tersebut merupakan golongan kecil dalam Islam. Hal ini karena memang pada awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman teologi yang antropomorfis.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan makhluk yang menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayat  yang mengatakan  bahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu, yaitu di atas, di langit, di  Arsy, bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
 Artinya “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang (Q.S Al-Mulk:16)
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Artinya “Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan danapa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”( Q.S Al-An’am:3)
وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن  نَّجْعَلَ لَكُم مَّوْعِداً
Artinya “Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”(Q.S Al-Kahfi:48)
Demikian pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai berikut :“Tuhan kita kita turun kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia berfirman, siapa yang berdoa padaKU  akan saya kabulkan. Siapa yang minta ampun, saya ampuni.”
Selain Q.S Al- Baqarah, semua ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama surat-surat tersebut ialah menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu  Islam, sesudah menunjukkan salahnya kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.

Muhammad Arsyad Farisi - Universitas Islam Attahiriyah
Bagaimanapun juga golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan segolongan kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada permulaan Islam berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab sebagian besar dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang sesudah mereka tetap memegangi  prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluk.

0 komentar:

Posting Komentar